Tingkat deforestasi hutan Indonesia yang udah sangat parah. Sering dengar bahwa negara2 dunia ketiga (termasuk Indonesia) nggak termasuk negara yang mempunyai ‘kontribusi’ yang besar pada efek pemanasan global. Tapi ternyata kerusakan lingkungan nggak hanya terjadi karena, misalnya: emisi gas buang dari industri dll yang ‘disumbangkan’ negara dunia ketiga masih lebih kecil persentasenya dibanding misalnya Amerika yang belum mau menandatangani protokol Kyoto. Saat dunia sedang sibuk menghujat negara – negara maju yang industrinya mempunyai kontribusi yang besar bagi kerusakan lingkungan, sedangkan di Indonesia sendiri kerusakan hutan sudah sangat – sangat parah. Bahkan Indonesia mempunyai ‘prestasi’:
Jakarta, Indonesia — Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap harinya, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam – sebuah angka yang menurut Greenpeace layak menempatkan Indonesia di dalam the Guinness Book of World Records sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.
Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi berdasarkan data laporan ‘State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Menurut laporan tersebut sepuluh negara membentuk 80 persen hutan primer dunia, dimana Indonesia, Meksiko, Papua Nugini dan Brasil mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang kurun waktu 2000 hingga 2005. “Tingkat penghancuran hutan yang luar biasa ini membuat Indonesia layak untuk
masuk ke dalam the Guinness book of World Records bergabung dengan Brasil yang saat ini memegang rekor kawasan deforestasi terluas di dunia,” ungkap Hapsoro, Juru Kampanye Hutan Regional, Greenpeace Asia Tenggara.
“Angka terbaru ini mencerminkan tidak adanya keinginan maupun kemampuan politis dari pemerintah Indonesia untuk menghentikan kehancuran hutan yang sudah sangat parah ini. Serangkaian bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, kekeringan, erosi besar-besaran semuanya berhubungan dengan parahnya keadaan hutan kita. Kebakaran hutan yang disebabkan oleh konsesi dan perkebunan telah menobatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia,”
Kerusakan Hutan
Pembakaran Hutan: Cenderung Menyalahkan Petani Tradisonal Siaran Pers: 29 Agustus 2006
Jakarta - Tingginya jumlah titik api sepertinya semakin membuat gerah bukan saja propinsi dan negeri tetangga yang menerima kiriman asap, namun juga pejabat negeri. Namun, WALHI melihat bahwa sejumlah pernyataan yang dikeluarkan pejabat cenderung untuk menyalahkan peladang gilir balik/tradisional. Meskipun tidak membantah adanya pembukaan kebun dengan cara bakar yang dilakukan oleh masyarakat namun WALHI menilai angkanya tidak signifikan. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006, total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 %.
Kertas briefing WALHI, yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus lalu juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih dari 40 ribu hotspot. Angka ini menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan pada saat itu. Kertas tersebut juga menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen titik api tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI, dan HPH. Oleh karenanya, menjadi sangat disayangkan ketika sejumlah pejabat yang tidak memiliki akses terhadap informasi di lapangan, cenderung menyalahkan petani tradisional sebagai pelaku utama dan sekaligus menafikan fakta bahwa justru pelaku bisnislah yang menerima keuntungan paling besar dari landclearing dengan cara bakar ini.
Untuk itu, WALHI merasa berkepentingan untuk mengeluarkan nama-nama perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada tahun 2006 ini. Sebagian kecil dari nama-nama perusahaan tersebut telah dilakukan groundcheck untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima dari satelit. Groundcheck yang di beberapa tempat dilakukan bersama dengan Bapedalda kemudian mendapatkan kepastian bahwa sejumlah konsesi milik perusahaan telah terbakar. Menyebut di antaranya adalah PT. Agro Lestari Mandiri, PT Agro Bukit, PT Wilmar Plantation Group, PT Bulu Cawang Plantation, PT Bumi Pratama Khatulistiwa di Kalimantan Barat, PT Sumber Tama Nusa Pertiwi di Jambi, PT. Persada Sawit Mas (PSM) di Sumatera Selatan, PT. Agro karya Prima Lestari (Sinar Mas Group) di Kalimantan Tengah dan puluhan perusahaan lainnya di Riau.
”Sebagian besar perusahaan tersebut telah melakukan praktek serupa di tahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah terjerat dengan hukum. Di Riau, misalnya, PT Arara Abadi setiap tahunnya selalu terindikasi melakukan pembakaran hutan dan lahan di konsesinya. Demikian halnya dengan sejumlah rekanan PT RAPP,” demikian Rully Syumanda, Pengkampanye Hutan WALHI.
Ditambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun tindakan hukum yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan praktek yang merugikan ini. Satu-satunya upaya hukum yang diajukan Pemprov Riau kemudian dipeti-eskan untuk alasan yang tidak diketahui sama sekali. Terkait dengan hal tersebut, WALHI dalam waktu dekat akan meminta hearing kepada DPR RI terkait dengan kebijakan yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan terhadap konsesi miliknya apabila terjadi kebakaran hutan.
Menjadi penting untuk mengeluarkan satu kebijakan yang menyebutkan bahwa pelaku bisnis harus bertanggung jawab dan diberikan sanksi apabila terjadi kebakaran di konsesi miliknya. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Chalid Muhammad, menyebutkan bahwa kebijakan ini sangat sangat dibutuhkan mengingat tren yang berkembang pada saat ini antara pemerintah dan perusahaan selalu saling menyalahkan bila terjadi kebakaran. Ujung-ujungnya petani tradisionalah yang menjadi kambing hitamnya.
Chalid juga menambahkan bahwa hanya dengan cara demikianlah jumlah titik api di negeri ini
bisa dikurangi. ”Pelaku bisnis harus bertanggung jawab apabila terjadi kebakaran dikonsesinya. Tidak peduli siapa yang melakukan pembakaran, mereka harus menunjukkan itikad baik dan kemampuan yang dimilikinya untuk menjaga konsesinya sendiri”.
WALHI sendiri menilai bahwa UU Perkebunan No. 18/2004 yang meskipun memuat sanksi namun amat sulit diimplementasikan mengingat proses hukumnya masih menggunakan KUHP yang mensyaratkan keberadaan barang bukti, seperti korek, bensin, saksi mata, dsb. Untuk kebakaran yang terjadi pada satu kawasan yang cukup luas, menemukan bukti materiil tersebut sama halnya dengan mencari jarum di atas tumpukan jerami.
DISTRIBUSI hutan Indonesia menurut fungsinya: konservasi [19 %], perlindungan [28 %], produksi [53 %]. Soal hutan ini, Indonesia punya 2 gelar: pemilik hutan terluas nomor 8 di dunia, dan; negara yang mengalami penyusutan hutan nomor 2 paling cepat.Menurut salah satu laporan Badan Pangan Dunia [FAO] tahun 2006, hutan Indonesia susut 1, 87 juta hektare pertahun. Angka ini hanya bisa dikalahkan oleh Brasil yang kehilangan rimba 3 juta hektare setiap tahun.
10 Negara pemilik hutan terluas di dunia 2006 menurut FAO:
1. Federasi Rusia [Luas wilayah: 1.688.900.000 hektare. Luas hutan: 809.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 96.000 hektare pertahun].
2. Brasil [Luas wilayah: 845.900.000 hektare. Luas hutan: 478.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 3.103.000 hektare pertahun].
3. Kanada [Luas wilayah: 922.100.000 hektare. Luas hutan: 310.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 0 hektare pertahun].
4. Amerika Serikat [Luas wilayah: 915.900.000 hektare. Luas hutan: 303.000.000 hektare. Mengalami perluasan hutan 159.000 hektare pertahun].
5. Republik Rakyat China [Luas wilayah: 932.700.000 hektare. Luas hutan: 197.000.000 hektare. Mengalami perluasan hutan 4.058.000 hektare pertahun].
6. Australia [Luas wilayah: 768.200.000 hektare. Luas hutan: 164.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 193.000 hektare pertahun].
7. Republik Demokrasi Kongo[Luas wilayah: 226.700.000 hektare. Luas hutan: 134.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 319.000 hektare pertahun].
8. Indonesia [Luas wilayah: 181.200.000 hektare. Luas hutan: 88.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 1.871.000 hektare pertahun].
9. Peru [Luas wilayah: 128.000.000 hektare. Luas hutan: 69.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 94.000 hektare pertahun].
10. India [Luas wilayah: 297.300.000 hektare. Luas hutan: 68.000.000 hektare. Mengalami penyusutan hutan 29.000 hektare pertahun].
LONGSOR di Indonesia mayoritas terjadi di tanah dengan kemiringan lebih dari 40 %, kawasan pantai dan bantaran sungai. Untuk Januari tahun ini, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi SDA dan Pengendalian Lingkungan memetakan adanya 187 kawasan rawan banjir dan longsor. Sebagian besar kawasan tersebut ada di Pulau Jawa, karena hanya memiliki lahan tutupan seluas 17 %. Disusul kemudian Sulawesi [43 %], Sumatera [49 %], Kalimantan [54 %] dan Papua [72 %].
Kerusakan Sumber Daya Alam Indonesia yang Berangsur-angsur Meningkat Dewasa ini, Sumber Daya Alam (SDA) menjadi barang langka di Indonesia, akibat tingkat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek kelajutannya. Menurut data tahun 2000, luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Terbukti dari kerusakan hutan pada periode 1997-2000 tercatat 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Selain itu, data terbaru total luas wilayah perairan Indonesia yang berkisar 5,7 juta kilometer persegi, hanya 1,8 juta kilometer persegi atau 30 persen yang kondisinya masih baik. Sisanya, seluas 3,9 juta kilometer persegi, sekitar 70 persen, rusak ringan hingga rusak berat.
Dengan semakin berkurangnya kawasan seperti hutan ataupun perairan, maka Indonesia menjadi kawasan yang rentan akan bencana, khususnya akibat dari kerusakan hutan terjadi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Sedangkan di perairan kerusakan terjadi akibat kelalaian manusia senidri. Sehingga, tidak jarang bencana dan kelalaian itu memakan banyak korban jiwa dan mengalami kerugian secara materi. Tak hanya itu, seperti halnya hewan dan segala jenis tanaman langka yang dilindungi otomatis akan ikut berkurang. Sementara itu, kawasan tersebut adalah bagian dari SDA yang memiliki potensi sumber daya yang terkandung dalam bumi, air dan alam raya yang dapat didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kepentingan pertahanan negara. Namun dengan jumlah kawasan SDA di Indonesia yang berangsur-angsur berkurang, alhasil penyedia kebutuhan seperti air bersih, makanan, obat-obat, serta kebutuhan pokok lainnya juga mengalami krisis.
Sebenarnya apa penyebab kegagalan dalam pengelolaan SDA di Indonesia saat ini? Kegagalan pengelolaan SDA ini berasal masyarakat sendiri. Hal ini terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan dengan baik. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan mengelola sumber alam yang ada menjadi faktor utama penurunan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran lingkungan, yang diakibatkan oleh kurang pedulinya masyarakat untuk melakukan kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang melakukan penebangan pohon secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungannya bisnisnya sendiri, kerusakan yang disebabkan penggunaan bom ikan oleh nelayan saat menangkap ikan, banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diarahkan ke Daerah Aliran Sungai(DAS) yang pasti akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan sisa dari proses penyaringan minyak, dan sebagainya. Jika kegiatan tersebut diiringi dengan pengawasan intensif serta kesadaran akan alam, pasti akan mempertimbangkan bagaimana caranya untuk tetap menjaga kestabilan ekosistem alam.
Kegagalan yang kedua berasal dari kebijakan pemerintah. Kegagalan kebijakan sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat mengarahkan ke permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan dibuktikan dalam menentukan kebijakan dengan adanya pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan SDA dan lingkungan, namun proses pelaksanaan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali. Kurangnya perhatian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan menjadi kendala untuk pengelolaan SDA. Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan tapi kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses pelaksanaan kebijakan pun menjadi terabaikan. Misalnya saja, belum ada hukuman yang jelas terhadap masyarakat yang menggunakan bom untuk menangkap ikan, pembuangan limbah pabrik, tidak ada ketentuan yang jelas berapa pohon harus ditebang untuk keperluan bisnis, dan sebagainya.
Maka dari itu, untuk ke depannya, hendaknya kita sebagai warga Indonesia, menyadari akan pentingnya alam ini bagi kita. Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang semestinya kita manfaatkan namun ada tanggung jawab dalam penggunaannya agar ekosistem yang ada di dalamnya tetap lestari dan tetap dapat kita nikmati keindahannya. Jangan sia-siakan Sumber Daya Alam yang kita miliki sejak lama ini karena kekayaan alam ini merupakan aset negara kita yang juga berguna bagi kehidupan kita.
0 komentar Indonesia termasuk negara penghancur hutan tercepat di dunia