Mereka Yang Untung, Kita Yang Buntung
Kesejahteraan dan keluar dari belenggu kemiskinan, merupakan kata kunci untuk menjelaskan, kenapa suatu Negara melibatkan asing atau investasi asing dalam proses pembangunannya. Para intelektual liberal dalam memandang suatu bangsa agar keluar dari kemelut/belenggu kemiskinan yakni dengan mengintegrasikan diri dengan dunia luar/asing, dengan pengintegrasian ini diharapkan akan terjadi difusi modal, teknologi, dan transformasi institusi-institusi modern yang berasal dari barat.
Pandangan ini kemudian menuai kritik yang hebat ditahun 1965, oleh sebagain besar kalangan intelektual di Amerika Latin, pada tahun sama diadakan pertemuan di Kota Mexiko, yang dihadiri hampir seraturan kalangan ekonom yang berasal dari Amerika Latin, mereka berkumpul untuk memecahkan satoe persoalan, kenapa negara-negara di Amerika Latin dan bangsa-bangsa yang menghuni di Amerika Latin masih berada dalam kemiskinan. Pertemuan ini kemudian menghasilkan apa yang kita kenal “Deklarasi Ekonomi Amerika Latin”, yang pada intinya bahwa pembangunan suatu bangsa haruslah dilihat aspek-aspek struktural yang melandasi suatu bangsa.
Pada tahun yang hampir bersamaan/tidak berselang begitu lama kita mengalami ganjang-ganjing politik yang luar biasa hebat. Peristiwa tahun 1966 Proses penjatuhan presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, rezim yang populer dan didukung rakyat dan tidak disukai barat karena kebijakan-kebijakan politiknya yang selalu berpihak pada rakyat. kemudian dijatuhkan oleh Soeharto dengan bantuan Amerika Serikat (Kapitalisme), tampilnya sosok jenderal Soeharto ditampuk kekuasaan dengan Orde Barunya, pada saat inilah kepentingan-kepentingan asing (Kapitalisme Internasional) dengan mudah masuk ke Indonesia. Sejatinya rezim Orde Baru hanya menjadi kaki tangan dari kepentingan-kepetingan kapitalisme internasional, ini dapat dibaca bahwa undang-undang yang pertama kali yang dibuat ketika rezim Soeharto berkuasa, yakni undang- undang Nomor 1 Tahun 1967 “Tentang Penanaman Modal Asing”.
Alarm dari Amerika latin, tidaklah dibaca oleh kalangan teknokrat yang menjadi arsitek pembangunan Orde baru, bahwa pembangunan yang pertama-pertama yang harus dilihat adalah dimensi-dimensi struktural yang telah melingkupi suatu bangsa. Tetapi oleh para teknokrat yang menjadi arsitek orde baru, pembangunan lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan asing di Indonesia. Para teknokrat berasumsi bahwa dengan semakin banyaknya orang asing ke Indonesia untuk berinvestasi, dengan sendiri akan memicu pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya akan menimbulkan multiple effect dengan kesejahteraan rakyat. (asumsi tickle down effect)
Para teknokrat ini berkeliling Eropa menawarkan bumi dan kakayaan alam bangsa Indonesia yang seperti gadis perawan dan belum terjamah. Meminta para pangeran-pangeran (pemilik modal) untuk berinvestasi di Indonesia. Meraka para teknokrat memberikan keleluasaan pada para pangeran eropa untuk menjamah kekayaan alam bangsa indonesia yang masih gadis perawan, mulai dari hak pengelolaan tambang, mineral, hutan untuk dieksplotasi, dengan jaminan tidak akan diganggu oleh masyarakat, karena ada aparat keamanan yang akan selalu siaga menjaga kepentingan-kepentingan asing di Indonesia.
Adanya jaminan keamanan dirasa tidaklah cukup, para teknokrat orde baru ini memberikan insentif yang menggiurkan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia; insentif ini akan memberikan keuntungan lebih dibanding kalau mereka (pangeran), berinvestasi di negeri asalnya, insentif yang didapat seperti; Pembebasan pajak terhadap keuntungan perusahaan sampai enam tahun bagi proyek-proyek yang diutamakan, dan dapat diperpanjang oleh pemerintah; Pembebasan pajak deviden pada tahun yang sama; pembebasan dari pajak material modal pada saat mulai investasi modal asing; Pembebasan dari bea masuk import untuk peralatan mesim, alat-alat dan kebutuhan awal pabrik; Pembebasan dari pajak harta benda; Hak mentransfer keuntungan yang sedang berlangsung dalam mata uang asal (Mas’oed, 1989).
Insentif dan jaminan keamanan dari penguasa, menjadikan para investor asing leluasa untuk menjamah dan menguras habis kekayaan alam yang terkandung dari bumi pertiwi, hutan yang masih perawan menjadi gundul, gugusan pengunungan yang elok nan indah menjadi dataran yang gersang, mineral yang berada berada didalam bumi disedot, menjadi lorong-lorong yang gelap.
Kebijakan mendorong investasi asing yang dilakukan orde baru bukanlah tanpa kritik, ada banyak suara yang mencoba mengingatkan akan dampak buruk dari investasi asing di Indonesia ini; para pengkritik ini tidaklah anti investasi asing, mereka (pengkritik) melihat bahwa harus dipersiapkan “jaring-jaring” pengaman sebelum memulai liberalisasi. Tanpa adanya jaring pengaman/regulasi, ikan-ikan yang kecil (pengusaha dalam negeri), akan dengan mudah dilahap ikan yang lebih besar (pemodal internasional), para pengkritik melihat orde baru tidak siap dengan perangkat regulasi/jaring pengaman, dan lebih mengendepankan mekanisme pasar bebas untuk menjadi hakim ekonomi. Sebagian para pengkritik lain melihat, bahwa tidak semua sektor ekonomi membutuhkan investasi asing untuk masuk didalamnya, karena tidak semua pabrik membutuhkan teknologi tinggi dalam menjalankan aktivitas produksinya.
Dampak lain investasi asing yang serampangan dan tanpa jaring pengaman menunjukkan repatriasi keuntungan yang relatif besar ke negeri asal (eropa barat), study yang dilakukan Do Santos di Amerika latin menunjukkan bahwa; selama periode 1946-1967, perbandingan antara modal yang ditransfer ke luar negeri dengan modal yang masuk ke negera-negara Amerika Latin adalah sebesar 2,7:1. Ini bermakna bahwa setiap US$1 yang masuk ke negara-negara Amerika Latin, akan diikuti dengan US$ 2,7 yang keluar. Perbandingan ini sesudah tahun enam puluhan diperkirakan menjadi dua kali lipat yaitu sebesar 5,4:1. (Aries & Sasono 1981).
Data-data ini mengkorfirmasi bahwa, kebijakan ekonomi yang serampangan, dalam pengertian investasi asing yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara secara masif dan sistemik pada kelanjutannya, kalau tidak mau dikatakan telah terjadi perampokan secara besar-besaran oleh kapitalisme internasional. Fakta-fakta yang terjadi di Amerika latin tidaklah berdiri sendiri, atau hanya menjadi fenomena yang terjadi dibelahan Amerika Latin saja, tetapi juga terjadi di Indonesia, study yang dilakukan Sritua Arief (1998), menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1973-1990 arus masuk investasi asing secara kumulatif adalah sebesar US$ 5,8 Milyar dollar, sedangkan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri adalah sebesar US$ 58,9 Milyar dollar. Dengan membandingkan kedua angka ini, maka satu dollar Amerika Serikat yang dimasukkan investor asing ke Indonesia telah diikuti dengan mengalirnya sumber keuntungan dengan nilai sepuluh kali lipat, dari ekonomi indonesia.
Fakta ini semakin menunjukkan bahwa investasi asing yang tanpa kendali akan menjadi boomerang bagi suatu negara yang sedang membangun, harapan akan adanya kesejehteraan rakyat dari modal asing yang mengalir di Indonesia, sebagaimana yang dianut oleh para ekonom-ekonom yang bermahzab liberal, tentu akan sekedar menjadi harapan saja, fakta yang terjadi kekayaan alam bangsa indonesia akan terkuras habis, dan keuntungan akan terus lari ke luar negeri (mereka yang untung), dan meninggalkan kerusakan alam akibat eksploitasi kekayaan alam yang terkendali (kita yang buntung).
Sumber : Hendria.com
Pandangan ini kemudian menuai kritik yang hebat ditahun 1965, oleh sebagain besar kalangan intelektual di Amerika Latin, pada tahun sama diadakan pertemuan di Kota Mexiko, yang dihadiri hampir seraturan kalangan ekonom yang berasal dari Amerika Latin, mereka berkumpul untuk memecahkan satoe persoalan, kenapa negara-negara di Amerika Latin dan bangsa-bangsa yang menghuni di Amerika Latin masih berada dalam kemiskinan. Pertemuan ini kemudian menghasilkan apa yang kita kenal “Deklarasi Ekonomi Amerika Latin”, yang pada intinya bahwa pembangunan suatu bangsa haruslah dilihat aspek-aspek struktural yang melandasi suatu bangsa.
Pada tahun yang hampir bersamaan/tidak berselang begitu lama kita mengalami ganjang-ganjing politik yang luar biasa hebat. Peristiwa tahun 1966 Proses penjatuhan presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, rezim yang populer dan didukung rakyat dan tidak disukai barat karena kebijakan-kebijakan politiknya yang selalu berpihak pada rakyat. kemudian dijatuhkan oleh Soeharto dengan bantuan Amerika Serikat (Kapitalisme), tampilnya sosok jenderal Soeharto ditampuk kekuasaan dengan Orde Barunya, pada saat inilah kepentingan-kepentingan asing (Kapitalisme Internasional) dengan mudah masuk ke Indonesia. Sejatinya rezim Orde Baru hanya menjadi kaki tangan dari kepentingan-kepetingan kapitalisme internasional, ini dapat dibaca bahwa undang-undang yang pertama kali yang dibuat ketika rezim Soeharto berkuasa, yakni undang- undang Nomor 1 Tahun 1967 “Tentang Penanaman Modal Asing”.
Alarm dari Amerika latin, tidaklah dibaca oleh kalangan teknokrat yang menjadi arsitek pembangunan Orde baru, bahwa pembangunan yang pertama-pertama yang harus dilihat adalah dimensi-dimensi struktural yang telah melingkupi suatu bangsa. Tetapi oleh para teknokrat yang menjadi arsitek orde baru, pembangunan lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan asing di Indonesia. Para teknokrat berasumsi bahwa dengan semakin banyaknya orang asing ke Indonesia untuk berinvestasi, dengan sendiri akan memicu pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya akan menimbulkan multiple effect dengan kesejahteraan rakyat. (asumsi tickle down effect)
Para teknokrat ini berkeliling Eropa menawarkan bumi dan kakayaan alam bangsa Indonesia yang seperti gadis perawan dan belum terjamah. Meminta para pangeran-pangeran (pemilik modal) untuk berinvestasi di Indonesia. Meraka para teknokrat memberikan keleluasaan pada para pangeran eropa untuk menjamah kekayaan alam bangsa indonesia yang masih gadis perawan, mulai dari hak pengelolaan tambang, mineral, hutan untuk dieksplotasi, dengan jaminan tidak akan diganggu oleh masyarakat, karena ada aparat keamanan yang akan selalu siaga menjaga kepentingan-kepentingan asing di Indonesia.
Adanya jaminan keamanan dirasa tidaklah cukup, para teknokrat orde baru ini memberikan insentif yang menggiurkan bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia; insentif ini akan memberikan keuntungan lebih dibanding kalau mereka (pangeran), berinvestasi di negeri asalnya, insentif yang didapat seperti; Pembebasan pajak terhadap keuntungan perusahaan sampai enam tahun bagi proyek-proyek yang diutamakan, dan dapat diperpanjang oleh pemerintah; Pembebasan pajak deviden pada tahun yang sama; pembebasan dari pajak material modal pada saat mulai investasi modal asing; Pembebasan dari bea masuk import untuk peralatan mesim, alat-alat dan kebutuhan awal pabrik; Pembebasan dari pajak harta benda; Hak mentransfer keuntungan yang sedang berlangsung dalam mata uang asal (Mas’oed, 1989).
Insentif dan jaminan keamanan dari penguasa, menjadikan para investor asing leluasa untuk menjamah dan menguras habis kekayaan alam yang terkandung dari bumi pertiwi, hutan yang masih perawan menjadi gundul, gugusan pengunungan yang elok nan indah menjadi dataran yang gersang, mineral yang berada berada didalam bumi disedot, menjadi lorong-lorong yang gelap.
Kebijakan mendorong investasi asing yang dilakukan orde baru bukanlah tanpa kritik, ada banyak suara yang mencoba mengingatkan akan dampak buruk dari investasi asing di Indonesia ini; para pengkritik ini tidaklah anti investasi asing, mereka (pengkritik) melihat bahwa harus dipersiapkan “jaring-jaring” pengaman sebelum memulai liberalisasi. Tanpa adanya jaring pengaman/regulasi, ikan-ikan yang kecil (pengusaha dalam negeri), akan dengan mudah dilahap ikan yang lebih besar (pemodal internasional), para pengkritik melihat orde baru tidak siap dengan perangkat regulasi/jaring pengaman, dan lebih mengendepankan mekanisme pasar bebas untuk menjadi hakim ekonomi. Sebagian para pengkritik lain melihat, bahwa tidak semua sektor ekonomi membutuhkan investasi asing untuk masuk didalamnya, karena tidak semua pabrik membutuhkan teknologi tinggi dalam menjalankan aktivitas produksinya.
Dampak lain investasi asing yang serampangan dan tanpa jaring pengaman menunjukkan repatriasi keuntungan yang relatif besar ke negeri asal (eropa barat), study yang dilakukan Do Santos di Amerika latin menunjukkan bahwa; selama periode 1946-1967, perbandingan antara modal yang ditransfer ke luar negeri dengan modal yang masuk ke negera-negara Amerika Latin adalah sebesar 2,7:1. Ini bermakna bahwa setiap US$1 yang masuk ke negara-negara Amerika Latin, akan diikuti dengan US$ 2,7 yang keluar. Perbandingan ini sesudah tahun enam puluhan diperkirakan menjadi dua kali lipat yaitu sebesar 5,4:1. (Aries & Sasono 1981).
Data-data ini mengkorfirmasi bahwa, kebijakan ekonomi yang serampangan, dalam pengertian investasi asing yang tidak terkendali akan berdampak buruk bagi perekonomian suatu negara secara masif dan sistemik pada kelanjutannya, kalau tidak mau dikatakan telah terjadi perampokan secara besar-besaran oleh kapitalisme internasional. Fakta-fakta yang terjadi di Amerika latin tidaklah berdiri sendiri, atau hanya menjadi fenomena yang terjadi dibelahan Amerika Latin saja, tetapi juga terjadi di Indonesia, study yang dilakukan Sritua Arief (1998), menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1973-1990 arus masuk investasi asing secara kumulatif adalah sebesar US$ 5,8 Milyar dollar, sedangkan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri adalah sebesar US$ 58,9 Milyar dollar. Dengan membandingkan kedua angka ini, maka satu dollar Amerika Serikat yang dimasukkan investor asing ke Indonesia telah diikuti dengan mengalirnya sumber keuntungan dengan nilai sepuluh kali lipat, dari ekonomi indonesia.
Fakta ini semakin menunjukkan bahwa investasi asing yang tanpa kendali akan menjadi boomerang bagi suatu negara yang sedang membangun, harapan akan adanya kesejehteraan rakyat dari modal asing yang mengalir di Indonesia, sebagaimana yang dianut oleh para ekonom-ekonom yang bermahzab liberal, tentu akan sekedar menjadi harapan saja, fakta yang terjadi kekayaan alam bangsa indonesia akan terkuras habis, dan keuntungan akan terus lari ke luar negeri (mereka yang untung), dan meninggalkan kerusakan alam akibat eksploitasi kekayaan alam yang terkendali (kita yang buntung).
Sumber : Hendria.com
0 komentar Investasi Asing