6 Kesalahan Saat Mengobati Diri Sendiri
Di tengah himpitan ekonomi, banyak masyarakat berupaya melakukan pengobatan terhadap dirinya sendiri (self medicine). Mengobati diri sendiri boleh-boleh saja, asalkan dilakukan dengan baik dan benar.
Demikian disampaikan Prof. DR. dr. Rianto Setiabudy SpFK dari Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam diskusi bertema ‘Penggunaan Obat yang Rasional” Kamis (29/3/2012) di Jakarta.
“Pengobatan diri sendiri akan sangat bermanfaat karena dapat menghemat waktu dan biaya transpor, mengurangi biaya konsultasi dokter, dan sebagian penyakit di masyarakat tergolong penyakit yang cepat sembuh sendiri,” katanya.
“Pengobatan diri sendiri akan sangat bermanfaat karena dapat menghemat waktu dan biaya transpor, mengurangi biaya konsultasi dokter, dan sebagian penyakit di masyarakat tergolong penyakit yang cepat sembuh sendiri,” katanya.
Rianto menjelaskan, penyakit yang boleh diobati sendiri oleh orang awam memiliki ciri di mana penyakit biasanya bersifat ringan, akan sembuh sendiri dalam waktu singkat dan tidak berbahaya. Penyakit tersebut misalnya batuk pilek tidak lebih dari 5 hari, diare ringan selama beberapa hari, sakit kepala ringan, sembelit dan sukar tidur.
“Tetapi kadang kita harus hati-hati. Biarpun demam baru satu hari tapi kalau kejang, harus segera dibawa kedokter, karena ini bukan demam biasa,” katanya.
Rianto mengingatkan, ada sejumlah penyakit yang tidak boleh diobati sendiri oleh orang awam. Cirinya, penyakit ini biasanya cenderung menjadi berat, tidak sembuh sendiri (walaupun tidak terasa sakit). Misalnya, hipertensi, diare hebat, kencing manis, kanker, penyakit ginjal dan jantung.
Meski begitu, Rianto menegaskan tidak semua orang mampu menerapkan praktik pengobatan diri sendiri secara benar. Ia menyebutkan, ada beberapa contoh kesalahan yang lazim dilakukan masyarakat dalam mengobati dirinya sendiri :
1. Mangobati flu, batuk, pilek dengan antibiotika.
“Ini sangat buruk dan manfaatnya tidak ada sama sakali. Tidak ada virus yang dapat diobati dengan antibiotika,” katanya.
“Ini sangat buruk dan manfaatnya tidak ada sama sakali. Tidak ada virus yang dapat diobati dengan antibiotika,” katanya.
2. Penggunaan vitamin secara belebihan
Rianto mengungkapkan, hasil riset The National Cancer Institute di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang setiap hari mengonsumsi lebih dari 1 macam multivitamin lebih besar risikonya menderitakanker prostat. “Meskipun kebenaran hasil penelitian tersebut masih diperdebatkan kalangan ilmuwan,” ungkapnya.
Rianto mengungkapkan, hasil riset The National Cancer Institute di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang yang setiap hari mengonsumsi lebih dari 1 macam multivitamin lebih besar risikonya menderitakanker prostat. “Meskipun kebenaran hasil penelitian tersebut masih diperdebatkan kalangan ilmuwan,” ungkapnya.
3. Menyisakan obat untuk “sakit yang akan datang”
Dalam beberapa kasus, Rianto mengamati, banyak pasien yang tidak menghabiskan obat yang diresepkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Misalnya, obat yang seharusnya dihabiskan dalam waktu seminggu, namun hanya diminum sampai hari ke empat (karena merasa badan sudah agak baikan), lalu sisanya disimpan dan dipakai kalau penyakitnya kembali kambuh.
Dalam beberapa kasus, Rianto mengamati, banyak pasien yang tidak menghabiskan obat yang diresepkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Misalnya, obat yang seharusnya dihabiskan dalam waktu seminggu, namun hanya diminum sampai hari ke empat (karena merasa badan sudah agak baikan), lalu sisanya disimpan dan dipakai kalau penyakitnya kembali kambuh.
4. Menggunakan obat dokter yang terlihat manjur untuk orang lain
“Jangan karena melihat teman atau saudara bisa sembuh dengan mengonsumsi obat dari pemberian dokter, lantas kita ikut-ikutan meminumnya,” ucapnya. Menurut Rianto, meskipun penyakit yang kita derita sama dengan orang lain, tetapi belum tentu obatnya sama. Karena tingkat keparahan penyakit setiap orang berbeda-beda.
“Jangan karena melihat teman atau saudara bisa sembuh dengan mengonsumsi obat dari pemberian dokter, lantas kita ikut-ikutan meminumnya,” ucapnya. Menurut Rianto, meskipun penyakit yang kita derita sama dengan orang lain, tetapi belum tentu obatnya sama. Karena tingkat keparahan penyakit setiap orang berbeda-beda.
5. Membeli obat keras tanpa resep dokter
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, akses mendapatkan obat di Indonesia masih terlalu mudah. Bahkan obat yang seharusnya hanya dapat dibeli dengan resep dokter, dapat dengan mudah didapatkan di toko-toko obat. “Di Malaysia, kalau mau beli obat antibiotika harus pakai resep. Tapi kalau di Indonesia, tidak pernah ditanya resep. Maka sia-sia lah kita berteriak memerangi resistensi terhadap obat kalau sisitemnya masih seperti ini,” jelasnya.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, akses mendapatkan obat di Indonesia masih terlalu mudah. Bahkan obat yang seharusnya hanya dapat dibeli dengan resep dokter, dapat dengan mudah didapatkan di toko-toko obat. “Di Malaysia, kalau mau beli obat antibiotika harus pakai resep. Tapi kalau di Indonesia, tidak pernah ditanya resep. Maka sia-sia lah kita berteriak memerangi resistensi terhadap obat kalau sisitemnya masih seperti ini,” jelasnya.
6. Mengobati sendiri penyakit berbahaya
Sampai saat, ini masih ada sebagian masyarakat yang lebih percaya pengobatan tradisional ketimbang pergi ke dokter, khususnya dalam mengobati penyakit berbahaya seperti misalnya, kanker, diabetes,jantung.
Sampai saat, ini masih ada sebagian masyarakat yang lebih percaya pengobatan tradisional ketimbang pergi ke dokter, khususnya dalam mengobati penyakit berbahaya seperti misalnya, kanker, diabetes,jantung.
Sumber: kompas.com, Kamis 29 Maret 2012
0 komentar Hati-hati Mengobati Diri Sendiri