Dunia filsafat telah lama hilang dari kaum Muslimin,
kecuali di kalangan Syi’ah. Kini, umat Islam perlu menghidupkan kembali tradisi
filsafat. Persoalan-persoalan duni terlampau sederhana jika hanya
dihadapi secara praktis minus pikiran besar. Adakah kaum Muslimin siap dan dari
mana mulai belajar filsafat?
Mempelajari filsafat itu dikatakan gampang-gampang susah.
Umumnya orang berpendapat bahwa untuk mempelajari filsafat memerlukan
pikiran yang serius, serba njlimet serta berbagai gambaran kerumitan lainnya.
Sebenarnya, untuk mempelajari filsafat itu bisa ditempuh dengan cara
yang lebih rileks dan mudah. Bagi para pemula, buku Dunia Sophie menarik untuk
dibaca. Buku tersebut merupakan buku filsafat, namun penyajiannya seperti
kita membaca buku novel. Untuk buku yang lebih serius lagi, namun masih mudah
untuk dicerna, adalah buku yang ditulis oleh Titus, Nolan dan Smith, Living
Issues on Philosophy. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
oleh Prof. Dr. HM. Rasyidi (mantan mentri Agama RI yang pertama), menjadi:
Persoalan-Persoalan Dalam Filsafat. Buku ini sudah suli dicari dalam
toko buku, kecuali dalam bentuk kopian.
Bagi pemeluk agama Islam, kadang ada keraguan untuk mempelajari filsafat,
seolah-olah, kalau sudah mempelajari filsafat, maka aspek keimanan akan
semakin berkurang. Bahkan konon ada mahasiswa IAIN yang setelah belajar filsafat
malah tidak mau lagi shalat. Padahl banyak mahasiswa yang tidak shalat bukan
karena mendalami filsafat. Kalaupun ada fenomena seperti mahasiswa IAIN
tadi, frekwensinya relatif kecil. Ibarat belajar renang, mendalami filsafat
butuh pembiasaan dan waktu yang relatif lama. Bila sudah mahir maka tidak ada
lagi persoalan.
Secara akademis, berfilsafat berarti mencoba berfikir secara
lebih radikal (mendalam) dalam memahami sesuatu. Dalam tradisi filsafat
Barat, masalah ketuhanan pun perlu dikaji secara filosofis. Dalam Islam Mungkin
tidak sejauh memahami tentang zat Tuhan, tetapi sekadar eksistensi Tuhan di
alam ini. Seperti sabda Nami, tafakaru fi khalqillah wal tafakaru fil khaliq
(pikirkanlah semua ciptaan Allah, dan jagan memikirkan tentang zat Allah).
Namun tentang keberadaan Allah dikatikan dengan keberadaan alam ini,
boleh-boleh saja kita pikirkan, dan memang sebuah keharusan. Imam al-Ghazali
memang cenderung menempuh jalah tasawuf dalam memahami Tuhan. Filsafat,
kata al- Ghazali, tidak dapat “menemukan” Tuhan. Mirip dengan al-Ghazali
Imanuel Kant juga menunjukkan kelemahan jalan rasional dalam memahami hakekat
jiwa dan Tuhan.
Selain radikal, mendalami filsafat juga bersifat universal
(lintas batas, serba melampaui) dan sistematis. Dan yang menjadi fokus dalam
studi filsafat, secara klasik, mengkaji tentang Tuhan, alam, dan
manusia. Dalam perkembangan filsafat kontemporer, juga mendalami
soal-soal sosial-budaya, bahasa (philosophy of language), ekonomi, politik
(political philosophy), hukum, dan lain-lain. Secara metodologis, filsafat
mengkaji tentang ontologi ( hakekat sesuatu), epistemologi (cara-cara yang
digunakan dalam mengkaji hakekat sesuatu), dan aksiologi (masalah filsafat
nilai, tentang baik buruk, atau meliputi wilayah etika).
Untuk mempelajari filsafat memang bisa dengan beberapa
cara. Pertama, yakni mempelajari sejarah perkembangan filsafat, sejak
era klasik, modern hingga kontemporer. Yang menjadi fokus di sini adalah
sejarah perkembangan ide-ide atau aliran filsafat. Kedua, dengan
mempelajari tokoh atau pemikir yang telah banyak memberikan banyak
kontribusinya dalam pengembangan pemikiran dalam dunia filsafat. Ketiga,
bisa juga mempelajari filsafat secara topikal atau tematis. Topik-topik
yang hangat dalam kajian filsafat. Keempat, bisa juga mempelajarai filsafat
yang terkait dengan bidang-bidang keilmuan; seperti filsafat agama, filsafat
politik, filsafat ekonomi, filsafat sejarah, filsafat
sosial, dan lain sebagainya. Kajian keempat ini bisa bersifat pemikiran
(aliran), studi tokoh, maupun topikal-tematis. Kelima, studi filsafat
bisa juga dengan mengunakan pendekatan komparasi yakni mengkaji kelebihan dan
kekurangan yang ada dalam masing-masing aliran filsafat. Misalnya,
bagaimana pandangan aliran rasionalisme dan empirisme tentang jiwa, manusia,
dan lain-lain. Bisa juga perbandingan antar filsuf tentang tema yang sama.
Mengingat pentingnya kajian filsafat ini, sudah selayaknya
umat Islam kembali menghidupkan tradisi berfikir filosofis yang selama ini
telah hilang dari khazanah pemikiran umat Islam. Sebenarnya, tradisi filsafat
sampai hari ini masih terus berlanjut di kalangan dunia Syi’ah, namun dunia
Sunni telah lam mengabaikan bahkan “mengharamkan” filsafat. Boleh jadi
karena pengaruh kitab al-Ghazali Tahafut al-Falasifah. Sehingga sementara orang
berpendapat bahwa al-Ghazali sangat anti filsafat. Sebenarnya,
al-Ghazali tidak anti sepenuhnya pada filsafat, karena al-Ghazali
sendiri sudah sangat kenyang dalam mendalami filsafat.
Andaikata ia anti filsafat, maka judul bukunya di atas
menjadi Tahafut al-falsafah. Kata-kata al-falsafah sendiri berbeda dengan
al-falasifah. Al-Falsafah adalah ilmu filsafat itu sendiri, sedang
Al-Falasifah (para filosof). Dalam bukunya dimaksud, al-Ghazali hanya menoloak
tiga perkara dari 20 perkara yang dikemukakan oleh Ibnu Rusd, cs. Ketiga topik
yang ditolak al-Ghazali adalah tentang: keabadian alam, Tuhan tidak mengetahui
hal-hal yang kecil (juziyyah), tidak ada kebangkitan jasmani pada hari kiamat
kelak. Sedangkan 17 masalah lainnya, al-Ghazali dapat menerima. Bagi
al-Ghazali, bila ketiga tema di atas tersebut dibenarkan, berarti sangat
bertentangan dengan konsep keabadian dan keesaan Allah. Sayangnya umat Islam
menggeneralisir penolakan al-Ghazali di atas. Yang menarik, adalah ada kiai
yang anti filsafat, padahal di pesantrenya ia sudah belajar ‘ilm
al-mantiq (ilmu logika) sebagai ilmu dasar dari filsafat. Karena dunia
Sunni menabukan filsafat, maka umat Islam Sunni menjadi lemah dalam
berfikir analisis. Menjadi umat yang serba tekstual dan normatif.
Di dunia Bara, tradisi filsafat juga tetap hidup, maka
tradisi kritis terhadap pemikiran terdahulu sudah menjadi hal bisa di Barat. Sebagai
contoh, kalu dulu duni barat mengunakan paham Modernisme yang serba rasional
dan positif. Kini dunia Barat sudah mulai merambah ke arah baru yaitu
posmodernisme yang meangakui adanya wilayah spiritualisme, pluralisme, dan
dekonstruksi. Sebaliknya dunia Islam cenderung memberhalakan
pemikiran-pemikiran masa lampau yang oleh Muhammed Arkoun disebut dengan takdis
al-fakr (pengsakralan pemikiran).
Orang yang mengakui filsafat kan lebih enak menikmati cara
berfikir bebas, mandiri, dan kritis dalam memikirkan fenomena yang ada (tidak
menjadi manusia yang serba nrimo). Berfilsafat tidak sekedar melihat
gejala yang tampak (fisika) saja, namun menukik secara lebih dalam kepada
hal-hal yang ada di bali yang ada (metafisika). Berfilsafat seperti
burung rajawali yang terbang di ketinggian sehingga lebih mudah dan jeli
melihat keadaan. Memang terkadang orang yang berfilsafat cenderung
dianggap orang yang aneh oleh orang di sekelilingnya yang hanya berfikir
biasa-biasa saja.
Para filosofis cenderung menjaga jarak dengan semua benda dan
keadaan, sehingga lebih cermat mensyiasati keadaan. Resikonya, di menjadi
seperti orang yang terasing, karena harus berbeda dan mengambil jarak dari
semua yang ada, bahkan mengambil jarak dengan pemikirannya sendiri.
Dalam studi filsafat Islam, paling tidak dikenal tiga
aliran; yakni aliran rasional (peripatetik, masyaiyyah); aliran empiris
(tajribiyyah); dan aliran intuitif (isyrakiyyah, laduniyyah). Di Barat umumnya
hanya dua aliran, empiris dan rasional. Namun para era posmodernisme saat ini,
dunia Barat mulai meranbah wilayah intuitif.
Akhirnya, perlu dimaklumi bahwa berfilsafat bukanlah
segala-galanya. Karena filsafat ada batasnya, dimana rasio sebagai alat filsafat
memang amat terbatas. Filsafat bukanlah satu-satunya jalan kebenaran, di
hanya salah satu cara untu mencari kebenaran, di samping ada jalan lain yakni
jalan empiris dan intuitif. Berfilsafat berarti lebih mendayagunakan
otak kiri (berfikir liner, rasional, sistematik), maka perlu diimbangi dengan
upaya fungsionalisasi otak kanan (berfikir sirkular, imajinatif, intuitif).
Berfikir dan beribadah (menjalankan anjuran-anjuran agama)
menikmati seni, karya seni dan sebagainya akan lebih dapat menyeimbangkan
kehidupan manusi dalam menjalankan aktivitas kesehariannya di dunia ini.
Oleh: Drs. Muhammad Azhar, MA.
*Disalin dari majalah Suara Muhammadiyah No: 09 Th: ke-88, 1-15
Mei 2003 M
0 komentar Filsafat Dalam Kajian Islam