Kamis pagi, 25 Agustus 2011. Hari pertama sang surya menampakkan wajah
terang setelah hujan mengguyur setiap paginya. Senang bisa
meninggalkan payung dan jas hujan di rumah. Setiap aku lupa
membawanya, ibuku selalu memarahiku dan memberiku khotbah selama
berjam-jam. Itu membuatku muak. Tetapi, selalu ada hal kurang baik
yang menimpaku jika aku meninggalkan mereka dirumah.
Pagi ini, siswa siswi SMA Negeri Mentari memikul tas mereka dengan
wajah ceria. Mereka terlihat sangat siap untuk mengikuti pelajaran.
Tetapi, ada beberapa orang yang merasa hari-harinya biasa saja.
Termasuk aku.
***
“Sssttt.. Lihat, Vik. Lihat dia datang padaku..” Kata Lena.
“Siapa?”
“Robi,” Jawabnya.
Temanku, Lena adalah gadis yang sedang menanti seseorang yang akan
mengungkapkan perasaan kepadanya. Dia sangat yakin bahwa orang itu
adalah Robi.
2 bulan yang lalu, aku dan Lena duduk di depan bangku Robi dan Rangga.
Tanpa sengaja Lena menjatuhkan bukunya. Buku itu jatuh tepat di bawah
bangku Robi. Jadi, Robi berusaha mengambilkannya. Saat mengembalikan
buku tersebut, tanpa sengaja Lena memegang tangan Robi dan mata mereka
bertemu. Lena langsung terpesona dengan aura yang terpancar dari sang
Robi. Apalagi Robi adalah orang yang tampan dan manis.
“Maaf,” Kata Lena. Robi membalasnya dengan senyum manis.
Lena pun menghadap ke depan kembali. Ia tampak bahagia.
“Kenapa kamu, Na?” Tanyaku.
“Nanti aku ceritain pas istirahat,” Lena cengar-cengir sendiri dan
tanpa disadari Pak Arif sudah memperhatikannya dari tadi.
“Lena!” Bentak Pak Arif dengan wajah garangnya. “Ngapain kamu
cengar-cengir sendiri? Habis disambet kutilanak?!”
Seluruh siswa di kelas pun menertawainya. Kecuali aku. Aku menjadi
takut juga. Takut ikut kena semprot Pak Arif karena Lena tengah
berbicara denganku sebelumnya.
Seketika Lena berhenti tersenyum, dan tubuhnya kaku. Ia seperti tak
dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. “Eee... anu pak..”
“Lena! Maju ke depan! Kamu duduknya pindah ke barisan paling depan! Cepat!”
“Ta.. ta.. tapi pak...”
Pak Arif berkacak pinggang dan memelototi Lena. Ia tidak ingin
permintaannya dibantah oleh Lena.
“I...i..iya pak..iya...”
Dengan sangat sangat kecewa, akhirnya Lena mengalah juga. Ia pindah
dan duduk dengan Nigel. Sedangkan aku, duduk bersama Daniar.
KRIING.....
Akhirnya pelajaran pun usai. Aku hendak mengemasi buku. Saat aku
menghadap ke belakang untuk memasukkan bukuku ke dalam tas, 2 orang di
belakangku tengah tertawa.
Aku mengernyitkan dahiku, “Kalian kenapa tertawa?”
“Ga apa-apa,” Robi lalu pergi diikuti dengan Rangga.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Kemudian beranjak ke bangku
Lena yang baru. Aku melihat gerak-geriknya yang nampak kecewa. Jadi
aku berusaha menghiburnya. “Hey, tenanglah.”
“Aku ingin duduk disana lagi,” Lena menghembuskan nafas.
Kami berdua diam sejenak. Aku berusaha memikirkan sesuatu agar Lena
bisa senang kembali. Dan muncul ide di otakku. “He, bagaimana jika
begini saja. Kamu pindah denganku. Biar aku yang duduk dengan Nigel.”
Lena tampak tergugah karenanya. Ia tertarik dengan pendapatku.
“Baiklah,” Dia pun mulai menampakkan senyumnya kembali. Dengan
semangat, Lena segera memindahkan tasnya ke bangkuku dan memindahkan
tasku ke bangkunya. Aku tersenyum geli karena caranya berjalan,
seperti sedang berlari-lari kecil. “Okey, beres...”
Bel berdering 2 kali. Saatnya masuk kelas.
“Halo, Nigel,” Aku mencoba menyapa teman sebangkuku.
Dia menanggapinya dengan hangat. “Halo, Vika.”
Tampak Robi dan Rangga memasuki kelas. Mereka berjalan melewati
bangkuku yang berada di barisan paling depan. Sepertinya Robi
melihatku sedang memperhatikannya. Ia mencoba agak sedikit tersenyum.
Tapi saat mata kami bertemu, aku langsung menundukkan kepalaku.
Sedangkan Rangga, dia menyapaku dan mengerdipkan matanya. “Hai,
Vika..”
“Iya...” Aku menjawab sedikit dan tersenyum. Tapi kenapa aku menjadi
gugup seperti ini? Apakah ada sesuatu antara aku, Robi, atau Rangga?
Ah, mungkin hanya firasatku saja.
***
Hatiku berdebar-debar melihat Robi yang berjalan menuju bangkunya yang
berada dibelakangku. Kuperhatikan setiap langkahnya hingga ia duduk di
kursinya. Tanpa kusadari, wajahku telah menghadap ke belakang. Tapi
aku tak ingin beranjak. Aku ingin tetap seperti ini. Memperhatikan
setiap detail wajahnya. Hingga ia membangunkan lamunanku. “Ngapain
kamu, Len?”
“Eh... Halo Robi,” Aku sedikit tersentak karenanya. Mencoba untuk
mengalihkan perhatiaan. “Ada tugas gak ya?”
“Gak ada kayaknya. Coba tanya Rangga.”
“Eh, Rangga. Ada tugas gak?”
“Ada,”
“Apa? aku belum ngerjain nih.”
“Tugasnya merhatiin Pak Arif,” Rangga langsung cekikikan. Di susul
Robi yang ikutan cengar-cengir. Dan aku menjadi manyun karenanya.
Kami mulai bercerita satu sama lain. Sampai kami tertawa-tawa.
Beruntung saat ini adalah jam kosong. Aku bisa mengakrabkan diri
dengan Robi. Aku yakin, dia pasti akan menyukaiku. Aku berharap dia
belum memiliki pacar, dan akan menembakku dalam waktu dekat ini.
***
Oh, membosankan sekali harus ada jam kosong. Tidak seperti biasanya,
aku selalu merasa senang jika ada jam seperti ini. Itu dikarenankan
aku sudah tidak sebangku lagi dengan Lena. Jika ada dia, aku atau dia
pasti sudah curhat dan bercanda tawa. Tapi, tidak kali ini. Aku belum
terlalu akrab dengan Nigel. Aku ingin berbicara dengannya, tapi masih
ada rasa malu dalam diriku. Itu membuatku merasa tidak nyaman. Jadi,
kali ini untuk pertama kalinya aku membenci jam kosong.
Aku menoleh ke belakang untuk menengok Lena, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tetapi, Lena sedang tidak memperhatikanku. Dia sedang
menghadap ke belakang, ke arah bangku Robi dan Rangga. Sepertinya,
mereka sedang asyik bercerita. Jadi, kuurungkan niatku untuk memanggil
Lena.
“Vik, kamu lihat apa?” Tanya Nigel yang sedang melihatku melamun.
Aku hanya diam, karena Nigel tak mampu membuyarkan lamunanku. Aku
masih tetap melamun. Aku membayangkan betapa beruntungnya menjadi
Lena. Dia sosok yang hebat. Gadis yang cantik, cerdas, dewasa, sabar
dan berbakat. Dia orang yang asyik, setiap diajak berbicara pasti
nyambung. Dia juga lucu dan manis, siapapun tak akan pernah bosan jika
melihatnya. Dan juga bakatnya bernyanyi, suara yang indah dan merdu.
Tak heran, banyak laki-laki yang menyukainya. Beruntungnya jika Lena
itu adalah aku. Pasti dengan mudah aku akan mendapatkan laki-laki
impianku.
“Vik! Vika!” Panggilan Nigel kali ini mengagetkanku.
“Hah....? Ada apa?”
“Kamu ngelamunin apa sih?”
“Eh.. enggak kok,”
“Kayaknya dari tadi liatin Robi sama Rangga. Jangan-jangan kamu suka
salah satu dari mereka ya?”
“Ih, enggak. Apaan sih!” Aku tertawa kecil dan menepuk lengannya.
Sejak saat itu, aku mulai bisa bercanda dengan Nigel. Itu membuatku
berharap akan ada lebih banyak jam kosong lagi.
***
25 Agustus 2011. Saat jam istirahat kedua, aku dan Lena duduk di taman
sekolah. Bermaksud ingin menikmati sinar matahari yang memancar dari
sela-sela pohon di taman. Lena menceritakan bagaimana perkembangannya
dengan Robi selama 2 bulan ini.
“Robi ternyata belum punya pacar,” Lena memulai pembicaraan.
“Benarkah? Syukurlah jika begitu.”
“Firasatku mengatakan, ia juga menyukaiku.”
“Semoga saja. Selamat kalau begitu,” Aku tersenyum dan mencubit
pipinya. “Sepertinya sebentar lagi bakal ada yang punya pacar nih.”
Lena tersenyum bahagia. Ia sangat berharap akan menjadi pacarnya Robi.
Begitu juga aku. Aku berharap Lena bisa cepat-cepat pacaran dengan
Robi. Aku ingin melihatnya bahagia dengan Robi. Karena Robi adalah
lelaki yang baik, aku percaya ia tidak akan macam-macam dengan Lena.
Saat angin sepoi-sepoi membelai rambutku dan Lena, Robi datang membawa
setangkai mawar merah. Ia terlihat semakin cool saat berjalan. Lena
lalu tergugah karenanya.
“Vik, lihat dia datang padaku. Sepertinya ia akan menyatakan perasaan padaku.”
“Iya, Len.”
Saat Robi semakin dekat, Lena dan aku berdiri untuk menyambutnya. Robi
tersenyum memperhatikan kami berdua. Lalu ia berlutut dan menyodorkan
bunga kepadaku. Tunggu, kepadaku? Apakah ia salah arah?
“Vika.... aku ingin mengatakan sesuatu. Aku sebenarnya sudah
menyukaimu dari pertama aku melihatmu. Ingatkah kamu saat kita masih
kecil, saat kamu berobat di tempat ayahku? Aku melihatmu dan ingin
menemuimu. Tapi aku masih malu. Aku ingin berteman denganmu. Terlebih
saat kita masih duduk di bangku TK, ternyata kita satu kelas. Dan
sekarang, kita bahkan bertemu lagi. Aku sudah yakin denganmu. Maukah
kamu menjadi pacarku?”
Aku tak dapat menjawab apa-apa. Aku melihat wajah Lena yang tampak
menahan amarah dan kekecewaan. Ternyata aku, sahabatnya sendirilah
yang membuatnya sakit hati. Ia lalu pergi begitu saja. Aku hanya mampu
melihatnya saja, aku ingin memanggilnya dan mengatakan padanya bahwa
ini hanyalah kesalahpahaman. Tapi, aku tak bisa melakukannya. Aku
bukan orang yang pandai berbicara.
“Jadi, bagaimana, Vik?”
“A... a... aku.. aku tidak tahu!” Aku berlari meninggalkan Robi. Aku
menuju ke kelas. Aku ingin meminta maaf kepada Lena. Tapi, disana aku
melihatnya menangis. Aku mendekatinya, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tapi, kuurungkan niatku. Aku tidak berani menatapnya
lagi, apalagi berbicara dengannya. Dengan lemas, aku berjalan kembali
ke bangkuku. Menyapa Nigel, dan mempersiapkan pelajaran selanjutnya.
Bel berdering. Saatnya memulai pelajaran. Tapi, kenapa gurunya tak
kunjung datang. Sudah lebih dari 20 menit. Ah, jam kosong lagi
rupanya. Aku inginkan ada pelajaran. Aku ingin mengalihkan perhatianku
dari kecelakaan yang baru saja terjadi. Mungkin, hari ini
keberuntungan tidak berpihak padaku. Tubuhku rasanya lemas sekali. Tak
ada semangat sama sekali. Aku merenung sejenak. Sebenarnya aku juga
sudah memiliki perasaan pada Robi. Tapi, aku tak tahu jika itu adalah
perasaan suka. Yang kutahu, aku hanya ingin mengenalnya lebih dekat
seperti Lena mengenal Robi. Saat Robi tersenyum padaku, aku menjadi
gugup. Dan ternyata dalam lubuk hati kecilku, aku merasa bahagia. Dan,
aku tak pernah menyadari itu semua.
Langit mulai terlihat mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan.
“Langit mulai mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan,” Kata
seseorang yang duduk dibelakangku, seperti sama persis dengan apa yang
kukatakan dalam hati barusan. Aku menoleh ke belakang. Aku sangat
terkejut tatkala itu adalah Robi. “Jangan kaget, Vik,”
“Kami baru bertukar bangku dengan Sally,” Sahut Rangga menjelaskan.
Tapi aku acuhkan mereka berdua. Tatapanku tertuju pada gadis cantik
yang kukagumi, Lena. Tapi juga yang aku iri. Dia masih terus menunduk
dan mengeluarkan air mata. Aku senang ia ditemani oleh Lian di
sisinya. Aku teman yang buruk untuk Lena. Membuatnya hingga sesedih
ini. Lian lah teman yang tepat untuk Lena. Lian yang mampu mengusap
air mata Lena. Sedangkan aku, teman yang mampu meremukkan hati Lena
meskipun aku tak inginkan hal itu.
Rangga melambaikan tangannya di depan wajahku. “Halo... Vika... Ngelamun apa?”
“Em.. Engga,” Aku menatap Lena kembali, tetapi sepertinya Lian sedang
melirikku dan Robi. Aku kembali menghadap ke depan. Aku tertunduk dan
diam. Aku tak berani berkutik karena ada Robi dan Rangga di
belakangku. Kuhabiskan sisa waktu pelajaran untuk mencoret-coretkan
pensilku di kertas. Sedangkan Robi, sepertinya ia memperhatikanku dari
belakang. Dan Rangga mencoba untuk menggodaiku dan Robi. Aku hanya
mendiamkan mereka. Sebenarnya, ada keinginan untuk berbicara dengan
mereka tetapi aku harus mengerti keadaan saat ini.
1 jam berlalu. Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku segera mengemasi
barang-barangku dan ingin cepat-cepat pulang. Hari ini aku tidak
membawa payung karena tadi pagi sangat cerah. Semoga aku sampai rumah
sebelum hujan turun.
Tik tik tik. Terdengar air hujan mulai menitik di genting kelas. Ku
tengok ke jendela. Air hujan mulai mengalir deras. Tarpaksa aku harus
menunggu hujan reda. Teman-teman sekelasku mengeluarkan sebuah payung
dan jas hujan dari tas mereka. Ternyata mereka masih mengantisipasi
akan datangnya hujan kembali. Tidak seperti aku, meremehkan segala
hal. Mereka satu persatu pulang bersama teman-teman mereka. Walaupun
cuaca hujan, tidak membuat mereka lemas. Mereka tetap ceria.
Aku keluar kelas dan berdiri di teras kelas. Aku menanti hujan yang
mengalir di hadapanku berhenti. Lagi-lagi, aku merenung kembali. Air
mataku tak mampu kubendung lagi. Kubiarkan ia membasahi pipiku selagi
tidak ada yang melihatku.
“Sepertinya ada yang ga bawa payung hari ini,” Robi datang tiba-tiba
dan ia memayungiku.
Cepat-cepat aku mengusap air mataku. Aku merasa malu, ternyata Robi melihatku.
“Vika. Aku mohon kali ini pulanglah bersamaku.”
Aku tak bergerak sama sekali. Berpura-pura tidak mendengarnya.
“Aku minta maaf tentang tadi.”
“Lena menyukaimu.”
“Em. A.. Aku tidak tahu.”
Kami lalu terdiam sejenak. Mungkin, ia kehabisan kata-kata. Tanpa
terasa 30 menit telah berlalu. Dan hujan masih belum berhenti. Robi
juga masih berdiri di sampingku. Mungkin ia menunggu kata dariku.
“Kenapa ..”
“Hujannya belum berhenti,” Robi memotong kalimatku dan melanjutkannya.
“Vika. Aku benar-benar menyukaimu sejak dulu. Hanya kamu. 6 tahun kita
tidak bertemu. Dan selama itu aku menunggumu.”
“Sebenarnya....” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan kalimat
dari mulutku. “Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu.”
“Benarkah?”
“Tapi Lena...”
“Em, aku punya ide. Bagaimana jika kita pacaran tapi secara diam-diam.
Hanya kita berdua yang tahu.”
Aku seperti kehilangan pikiranku sehingga aku berkata, “Baiklah. Aku setuju.”
Dengan 1 payung berdua, aku dan Robi melangkahkan kaki di bawah hujan
untuk pulang. Aku dan dia mulai tersenyum malu-malu. Lalu, bercanda
tawa seperti apa yang dulu ia lakukan dengan Lena. Ini seperti mimpi
bisa menjadi pacar Robi, orang yang aku sukai.
Tiba-tiba Robi merangkulku yang tengah menggigil. Aku merasa sangat
nyaman berada di dekatnya. Kami bertatap wajah dan saling tersenyum.
“Aku menyayangimu, Vika.”
“Aku juga menyayangimu, Robi.”
Kebahagiaanku dan Robi. 25 Agustus 2011.
******
Demikianlah cerita pendek romantis kali ini. Jangan lupa berkunjung kembali untuk melihat kumpulan cerpen cinta paling romantis di blog eposlima.
terang setelah hujan mengguyur setiap paginya. Senang bisa
meninggalkan payung dan jas hujan di rumah. Setiap aku lupa
membawanya, ibuku selalu memarahiku dan memberiku khotbah selama
berjam-jam. Itu membuatku muak. Tetapi, selalu ada hal kurang baik
yang menimpaku jika aku meninggalkan mereka dirumah.
Pagi ini, siswa siswi SMA Negeri Mentari memikul tas mereka dengan
wajah ceria. Mereka terlihat sangat siap untuk mengikuti pelajaran.
Tetapi, ada beberapa orang yang merasa hari-harinya biasa saja.
Termasuk aku.
***
“Sssttt.. Lihat, Vik. Lihat dia datang padaku..” Kata Lena.
“Siapa?”
“Robi,” Jawabnya.
Temanku, Lena adalah gadis yang sedang menanti seseorang yang akan
mengungkapkan perasaan kepadanya. Dia sangat yakin bahwa orang itu
adalah Robi.
2 bulan yang lalu, aku dan Lena duduk di depan bangku Robi dan Rangga.
Tanpa sengaja Lena menjatuhkan bukunya. Buku itu jatuh tepat di bawah
bangku Robi. Jadi, Robi berusaha mengambilkannya. Saat mengembalikan
buku tersebut, tanpa sengaja Lena memegang tangan Robi dan mata mereka
bertemu. Lena langsung terpesona dengan aura yang terpancar dari sang
Robi. Apalagi Robi adalah orang yang tampan dan manis.
“Maaf,” Kata Lena. Robi membalasnya dengan senyum manis.
Lena pun menghadap ke depan kembali. Ia tampak bahagia.
“Kenapa kamu, Na?” Tanyaku.
“Nanti aku ceritain pas istirahat,” Lena cengar-cengir sendiri dan
tanpa disadari Pak Arif sudah memperhatikannya dari tadi.
“Lena!” Bentak Pak Arif dengan wajah garangnya. “Ngapain kamu
cengar-cengir sendiri? Habis disambet kutilanak?!”
Seluruh siswa di kelas pun menertawainya. Kecuali aku. Aku menjadi
takut juga. Takut ikut kena semprot Pak Arif karena Lena tengah
berbicara denganku sebelumnya.
Seketika Lena berhenti tersenyum, dan tubuhnya kaku. Ia seperti tak
dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. “Eee... anu pak..”
“Lena! Maju ke depan! Kamu duduknya pindah ke barisan paling depan! Cepat!”
“Ta.. ta.. tapi pak...”
Pak Arif berkacak pinggang dan memelototi Lena. Ia tidak ingin
permintaannya dibantah oleh Lena.
“I...i..iya pak..iya...”
Dengan sangat sangat kecewa, akhirnya Lena mengalah juga. Ia pindah
dan duduk dengan Nigel. Sedangkan aku, duduk bersama Daniar.
KRIING.....
Akhirnya pelajaran pun usai. Aku hendak mengemasi buku. Saat aku
menghadap ke belakang untuk memasukkan bukuku ke dalam tas, 2 orang di
belakangku tengah tertawa.
Aku mengernyitkan dahiku, “Kalian kenapa tertawa?”
“Ga apa-apa,” Robi lalu pergi diikuti dengan Rangga.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku. Kemudian beranjak ke bangku
Lena yang baru. Aku melihat gerak-geriknya yang nampak kecewa. Jadi
aku berusaha menghiburnya. “Hey, tenanglah.”
“Aku ingin duduk disana lagi,” Lena menghembuskan nafas.
Kami berdua diam sejenak. Aku berusaha memikirkan sesuatu agar Lena
bisa senang kembali. Dan muncul ide di otakku. “He, bagaimana jika
begini saja. Kamu pindah denganku. Biar aku yang duduk dengan Nigel.”
Lena tampak tergugah karenanya. Ia tertarik dengan pendapatku.
“Baiklah,” Dia pun mulai menampakkan senyumnya kembali. Dengan
semangat, Lena segera memindahkan tasnya ke bangkuku dan memindahkan
tasku ke bangkunya. Aku tersenyum geli karena caranya berjalan,
seperti sedang berlari-lari kecil. “Okey, beres...”
Bel berdering 2 kali. Saatnya masuk kelas.
“Halo, Nigel,” Aku mencoba menyapa teman sebangkuku.
Dia menanggapinya dengan hangat. “Halo, Vika.”
Tampak Robi dan Rangga memasuki kelas. Mereka berjalan melewati
bangkuku yang berada di barisan paling depan. Sepertinya Robi
melihatku sedang memperhatikannya. Ia mencoba agak sedikit tersenyum.
Tapi saat mata kami bertemu, aku langsung menundukkan kepalaku.
Sedangkan Rangga, dia menyapaku dan mengerdipkan matanya. “Hai,
Vika..”
“Iya...” Aku menjawab sedikit dan tersenyum. Tapi kenapa aku menjadi
gugup seperti ini? Apakah ada sesuatu antara aku, Robi, atau Rangga?
Ah, mungkin hanya firasatku saja.
***
Hatiku berdebar-debar melihat Robi yang berjalan menuju bangkunya yang
berada dibelakangku. Kuperhatikan setiap langkahnya hingga ia duduk di
kursinya. Tanpa kusadari, wajahku telah menghadap ke belakang. Tapi
aku tak ingin beranjak. Aku ingin tetap seperti ini. Memperhatikan
setiap detail wajahnya. Hingga ia membangunkan lamunanku. “Ngapain
kamu, Len?”
“Eh... Halo Robi,” Aku sedikit tersentak karenanya. Mencoba untuk
mengalihkan perhatiaan. “Ada tugas gak ya?”
“Gak ada kayaknya. Coba tanya Rangga.”
“Eh, Rangga. Ada tugas gak?”
“Ada,”
“Apa? aku belum ngerjain nih.”
“Tugasnya merhatiin Pak Arif,” Rangga langsung cekikikan. Di susul
Robi yang ikutan cengar-cengir. Dan aku menjadi manyun karenanya.
Kami mulai bercerita satu sama lain. Sampai kami tertawa-tawa.
Beruntung saat ini adalah jam kosong. Aku bisa mengakrabkan diri
dengan Robi. Aku yakin, dia pasti akan menyukaiku. Aku berharap dia
belum memiliki pacar, dan akan menembakku dalam waktu dekat ini.
***
Oh, membosankan sekali harus ada jam kosong. Tidak seperti biasanya,
aku selalu merasa senang jika ada jam seperti ini. Itu dikarenankan
aku sudah tidak sebangku lagi dengan Lena. Jika ada dia, aku atau dia
pasti sudah curhat dan bercanda tawa. Tapi, tidak kali ini. Aku belum
terlalu akrab dengan Nigel. Aku ingin berbicara dengannya, tapi masih
ada rasa malu dalam diriku. Itu membuatku merasa tidak nyaman. Jadi,
kali ini untuk pertama kalinya aku membenci jam kosong.
Aku menoleh ke belakang untuk menengok Lena, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tetapi, Lena sedang tidak memperhatikanku. Dia sedang
menghadap ke belakang, ke arah bangku Robi dan Rangga. Sepertinya,
mereka sedang asyik bercerita. Jadi, kuurungkan niatku untuk memanggil
Lena.
“Vik, kamu lihat apa?” Tanya Nigel yang sedang melihatku melamun.
Aku hanya diam, karena Nigel tak mampu membuyarkan lamunanku. Aku
masih tetap melamun. Aku membayangkan betapa beruntungnya menjadi
Lena. Dia sosok yang hebat. Gadis yang cantik, cerdas, dewasa, sabar
dan berbakat. Dia orang yang asyik, setiap diajak berbicara pasti
nyambung. Dia juga lucu dan manis, siapapun tak akan pernah bosan jika
melihatnya. Dan juga bakatnya bernyanyi, suara yang indah dan merdu.
Tak heran, banyak laki-laki yang menyukainya. Beruntungnya jika Lena
itu adalah aku. Pasti dengan mudah aku akan mendapatkan laki-laki
impianku.
“Vik! Vika!” Panggilan Nigel kali ini mengagetkanku.
“Hah....? Ada apa?”
“Kamu ngelamunin apa sih?”
“Eh.. enggak kok,”
“Kayaknya dari tadi liatin Robi sama Rangga. Jangan-jangan kamu suka
salah satu dari mereka ya?”
“Ih, enggak. Apaan sih!” Aku tertawa kecil dan menepuk lengannya.
Sejak saat itu, aku mulai bisa bercanda dengan Nigel. Itu membuatku
berharap akan ada lebih banyak jam kosong lagi.
***
25 Agustus 2011. Saat jam istirahat kedua, aku dan Lena duduk di taman
sekolah. Bermaksud ingin menikmati sinar matahari yang memancar dari
sela-sela pohon di taman. Lena menceritakan bagaimana perkembangannya
dengan Robi selama 2 bulan ini.
“Robi ternyata belum punya pacar,” Lena memulai pembicaraan.
“Benarkah? Syukurlah jika begitu.”
“Firasatku mengatakan, ia juga menyukaiku.”
“Semoga saja. Selamat kalau begitu,” Aku tersenyum dan mencubit
pipinya. “Sepertinya sebentar lagi bakal ada yang punya pacar nih.”
Lena tersenyum bahagia. Ia sangat berharap akan menjadi pacarnya Robi.
Begitu juga aku. Aku berharap Lena bisa cepat-cepat pacaran dengan
Robi. Aku ingin melihatnya bahagia dengan Robi. Karena Robi adalah
lelaki yang baik, aku percaya ia tidak akan macam-macam dengan Lena.
Saat angin sepoi-sepoi membelai rambutku dan Lena, Robi datang membawa
setangkai mawar merah. Ia terlihat semakin cool saat berjalan. Lena
lalu tergugah karenanya.
“Vik, lihat dia datang padaku. Sepertinya ia akan menyatakan perasaan padaku.”
“Iya, Len.”
Saat Robi semakin dekat, Lena dan aku berdiri untuk menyambutnya. Robi
tersenyum memperhatikan kami berdua. Lalu ia berlutut dan menyodorkan
bunga kepadaku. Tunggu, kepadaku? Apakah ia salah arah?
“Vika.... aku ingin mengatakan sesuatu. Aku sebenarnya sudah
menyukaimu dari pertama aku melihatmu. Ingatkah kamu saat kita masih
kecil, saat kamu berobat di tempat ayahku? Aku melihatmu dan ingin
menemuimu. Tapi aku masih malu. Aku ingin berteman denganmu. Terlebih
saat kita masih duduk di bangku TK, ternyata kita satu kelas. Dan
sekarang, kita bahkan bertemu lagi. Aku sudah yakin denganmu. Maukah
kamu menjadi pacarku?”
Aku tak dapat menjawab apa-apa. Aku melihat wajah Lena yang tampak
menahan amarah dan kekecewaan. Ternyata aku, sahabatnya sendirilah
yang membuatnya sakit hati. Ia lalu pergi begitu saja. Aku hanya mampu
melihatnya saja, aku ingin memanggilnya dan mengatakan padanya bahwa
ini hanyalah kesalahpahaman. Tapi, aku tak bisa melakukannya. Aku
bukan orang yang pandai berbicara.
“Jadi, bagaimana, Vik?”
“A... a... aku.. aku tidak tahu!” Aku berlari meninggalkan Robi. Aku
menuju ke kelas. Aku ingin meminta maaf kepada Lena. Tapi, disana aku
melihatnya menangis. Aku mendekatinya, dan bermaksud ingin
memanggilnya. Tapi, kuurungkan niatku. Aku tidak berani menatapnya
lagi, apalagi berbicara dengannya. Dengan lemas, aku berjalan kembali
ke bangkuku. Menyapa Nigel, dan mempersiapkan pelajaran selanjutnya.
Bel berdering. Saatnya memulai pelajaran. Tapi, kenapa gurunya tak
kunjung datang. Sudah lebih dari 20 menit. Ah, jam kosong lagi
rupanya. Aku inginkan ada pelajaran. Aku ingin mengalihkan perhatianku
dari kecelakaan yang baru saja terjadi. Mungkin, hari ini
keberuntungan tidak berpihak padaku. Tubuhku rasanya lemas sekali. Tak
ada semangat sama sekali. Aku merenung sejenak. Sebenarnya aku juga
sudah memiliki perasaan pada Robi. Tapi, aku tak tahu jika itu adalah
perasaan suka. Yang kutahu, aku hanya ingin mengenalnya lebih dekat
seperti Lena mengenal Robi. Saat Robi tersenyum padaku, aku menjadi
gugup. Dan ternyata dalam lubuk hati kecilku, aku merasa bahagia. Dan,
aku tak pernah menyadari itu semua.
Langit mulai terlihat mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan.
“Langit mulai mendung. Kukira hari ini tidak akan hujan,” Kata
seseorang yang duduk dibelakangku, seperti sama persis dengan apa yang
kukatakan dalam hati barusan. Aku menoleh ke belakang. Aku sangat
terkejut tatkala itu adalah Robi. “Jangan kaget, Vik,”
“Kami baru bertukar bangku dengan Sally,” Sahut Rangga menjelaskan.
Tapi aku acuhkan mereka berdua. Tatapanku tertuju pada gadis cantik
yang kukagumi, Lena. Tapi juga yang aku iri. Dia masih terus menunduk
dan mengeluarkan air mata. Aku senang ia ditemani oleh Lian di
sisinya. Aku teman yang buruk untuk Lena. Membuatnya hingga sesedih
ini. Lian lah teman yang tepat untuk Lena. Lian yang mampu mengusap
air mata Lena. Sedangkan aku, teman yang mampu meremukkan hati Lena
meskipun aku tak inginkan hal itu.
Rangga melambaikan tangannya di depan wajahku. “Halo... Vika... Ngelamun apa?”
“Em.. Engga,” Aku menatap Lena kembali, tetapi sepertinya Lian sedang
melirikku dan Robi. Aku kembali menghadap ke depan. Aku tertunduk dan
diam. Aku tak berani berkutik karena ada Robi dan Rangga di
belakangku. Kuhabiskan sisa waktu pelajaran untuk mencoret-coretkan
pensilku di kertas. Sedangkan Robi, sepertinya ia memperhatikanku dari
belakang. Dan Rangga mencoba untuk menggodaiku dan Robi. Aku hanya
mendiamkan mereka. Sebenarnya, ada keinginan untuk berbicara dengan
mereka tetapi aku harus mengerti keadaan saat ini.
1 jam berlalu. Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku segera mengemasi
barang-barangku dan ingin cepat-cepat pulang. Hari ini aku tidak
membawa payung karena tadi pagi sangat cerah. Semoga aku sampai rumah
sebelum hujan turun.
Tik tik tik. Terdengar air hujan mulai menitik di genting kelas. Ku
tengok ke jendela. Air hujan mulai mengalir deras. Tarpaksa aku harus
menunggu hujan reda. Teman-teman sekelasku mengeluarkan sebuah payung
dan jas hujan dari tas mereka. Ternyata mereka masih mengantisipasi
akan datangnya hujan kembali. Tidak seperti aku, meremehkan segala
hal. Mereka satu persatu pulang bersama teman-teman mereka. Walaupun
cuaca hujan, tidak membuat mereka lemas. Mereka tetap ceria.
Aku keluar kelas dan berdiri di teras kelas. Aku menanti hujan yang
mengalir di hadapanku berhenti. Lagi-lagi, aku merenung kembali. Air
mataku tak mampu kubendung lagi. Kubiarkan ia membasahi pipiku selagi
tidak ada yang melihatku.
“Sepertinya ada yang ga bawa payung hari ini,” Robi datang tiba-tiba
dan ia memayungiku.
Cepat-cepat aku mengusap air mataku. Aku merasa malu, ternyata Robi melihatku.
“Vika. Aku mohon kali ini pulanglah bersamaku.”
Aku tak bergerak sama sekali. Berpura-pura tidak mendengarnya.
“Aku minta maaf tentang tadi.”
“Lena menyukaimu.”
“Em. A.. Aku tidak tahu.”
Kami lalu terdiam sejenak. Mungkin, ia kehabisan kata-kata. Tanpa
terasa 30 menit telah berlalu. Dan hujan masih belum berhenti. Robi
juga masih berdiri di sampingku. Mungkin ia menunggu kata dariku.
“Kenapa ..”
“Hujannya belum berhenti,” Robi memotong kalimatku dan melanjutkannya.
“Vika. Aku benar-benar menyukaimu sejak dulu. Hanya kamu. 6 tahun kita
tidak bertemu. Dan selama itu aku menunggumu.”
“Sebenarnya....” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan kalimat
dari mulutku. “Aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu.”
“Benarkah?”
“Tapi Lena...”
“Em, aku punya ide. Bagaimana jika kita pacaran tapi secara diam-diam.
Hanya kita berdua yang tahu.”
Aku seperti kehilangan pikiranku sehingga aku berkata, “Baiklah. Aku setuju.”
Dengan 1 payung berdua, aku dan Robi melangkahkan kaki di bawah hujan
untuk pulang. Aku dan dia mulai tersenyum malu-malu. Lalu, bercanda
tawa seperti apa yang dulu ia lakukan dengan Lena. Ini seperti mimpi
bisa menjadi pacar Robi, orang yang aku sukai.
Tiba-tiba Robi merangkulku yang tengah menggigil. Aku merasa sangat
nyaman berada di dekatnya. Kami bertatap wajah dan saling tersenyum.
“Aku menyayangimu, Vika.”
“Aku juga menyayangimu, Robi.”
Kebahagiaanku dan Robi. 25 Agustus 2011.
******
Cerpen Aku Menyayangimu
Karya: Afik Yunika
Demikianlah cerita pendek romantis kali ini. Jangan lupa berkunjung kembali untuk melihat kumpulan cerpen cinta paling romantis di blog eposlima.
0 komentar Cerpen Cinta - Aku Menyayangimu